Tags

, ,

Senja di hari ini tidak sempat memerah serta menjingga dengan cantik. Sekelompok awan terlalu lemah melawan angin dengan kecepatan sangat tinggi dan dalam selang tak lama telah mengumpulkan mereka. Langit mengelam, temperatur udara menurun, sebentar kemudian, tepat ketika si awan benar-benar tak mampu mengendalikan diri lagi mencapai titik jenuh, tetes demi tetes air turun menuju intensitas tinggi. Hujan menyembunyikan matahari lebih cepat dari biasanya. Mempercepat malam datang, tapi kali ini sepertinya tanpa gemintang. Senja abu-abu dengan hujan, terdengar keren bukan? Sepertinya Allah memberikan bonus lebih pada manusia-manusia yang di rundung harap. Meluaskan kesempatan untuk terkabulnya doa. Memandikan sebagian wilayah bumi dengan rahmat.

Allah memang selalu menyajikan hal-hal keren, meski terkadang beberapa orang, termasuk Saya sendiri kadang-kadang lupa untuk bersyukur pada-Nya. Seperti hujan di petang ini, mungkin saja beberapa orang tengah menggerutu karena perjalanannya dengan motor menuju rumah terhalang oleh hujan yang tiba-tiba datang. Beberapa lagi kesal karena dibatalkan acaranya oleh hujan yang turun sangat lebat. Tapi, bukan berarti tak ada orang yang tak bersyukur dengan turunnya hujan. Mungkin saja banyak anak-anak yang menikmati waktu berkualitasnya bersama Ayah dan Ibunya bercerita tentang teman dan gurunya di sekolah dengan bahagia. Di tempat berbeda, akan ada orang-orang yang juga tengah berbahagia. Bagaimanapun juga, Allah telah menitipkan kebahagiaan lewat hujan yang turun.

Bicara mengenai hujan, Saya teringat beberapa tahun lalu. Saya yang berseragam putih abu-abu ketika itu, pernah berprosa di depan kelas mengenai hujan dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Saya ingat bagaimana dengan seriusnya membacakan kata demi kata. Sesekali pandangan Saya tertuju pada audiens, yang jelas-jelas adalah teman sekelas sendiri, terlihat ikut serius mendengar cerita Saya. Entah karena memang menarik atau karna takut ketahuan Guru tak memperhatikan. Yang jelas, Saya sendiri merasa ikut dibawa dalam cerita yang Saya tulis sendiri, atau memang karena ketika itu Saya menulis apa yang benar-benar dirasakan.

Namun, sekarang, Saya tak ingin menceritakan apa yang pernah tertulis dalam buku latihan Bahasa Indonesia dulu. Saya hanya ingin bercerita tentang seseorang kawan yang saat itu sangat serius memperhatikan Saya bercerita, bahkan kemudian mengingatnya. Seseorang yang telah dengan ikhlas, mau-mau saja Saya cekoki (?) racun untuk menggilai hujan, apalagi setelah Saya bacakan cerita untuk latihan Bahasa Indonesia tersebut.

Sedikit mengenai Saya waktu SMA, adalah orang yang agak tak bisa diam, agak tak banyak bicara, agak suka semaunya sendiri, agak manja, dan agak sedikit berlebihan merespon segala kejadian. Sebagai catatan, dimana seseorang menuliskan kata ‘agak’ untuk menggambarkan sifat dirinya, maka kalian harus meragukan penggunaan kata ‘agak’ itu sebagai pengecohan terhadap kata ‘paling’. Saya juga adalah seseorang anak perempuan di masa puber yang senang sekali menghubungkan kejadian yang Saya alami ketika itu dengan hujan. Di saat-saat seperti itu, Saya merasa beberapa hal penting yang Saya alami selalu bersama hujan. Saya selalu merasa spesial bersama hujan. Saya seperti mengalami masa-masa jatuh cinta luar biasa pada hujan, di mana setiap hujan turun Saya menunggu-nunggu hal luar biasa apalagi yang Allah kirimkan melalui hujan. Saya benar-benar gila pada segala sesuatu tentang hujan ketika itu. Sekarang? Tentu tidak separah itu lagi, mungkin karena waktu yang lebih mendewasakan cinta Saya pada hujan, eh.

Satu-satunya orang yang tau betapa tergila-gilanya Saya pada hujan, adalah seseorang yang Saya ceritakan sebelumnya. Dia adalah sesosok anak laki-laki pendiam yang duduk di pojok paling belakang kelas Saya. Seseorang yang bahkan tak Saya sadari kehadirannya di awal-awal semester kelas dua. Entah bagaimana tepatnya, Saya kemudian jadi lebih dekat dengannya. Dia adalah sosok sahabat yang setia, pendengar antusias untuk semua cerita-cerita Saya, sekaligus sahabat yang tak sependiam kelihatannya. Tak akan ada yang tau kalau dia adalah sosok humoris nan ekspresif jika dilihat dari luarnya.

Kalau membuka lagi kisah di SMA, dia adalah bagian yang tak boleh dilupakan. Salah seorang teman yang rela menemani Saya menunggu di waktu pulang sekolah saat Ayah atau Ibu telat menjemput. Seorang kawan yang dengan senang hati menemani kebiasaan Saya berjalan kaki berkeliling sekolah saat sedang suntuk. Seorang sahabat yang hanya nyengir-nyengir sakit sementara saya dengan puasnya mentertawakan dia ketika dia sukses berguling-guling di tangga karna terpeleset. Juga seseorang yang antusias terbawa dengan picisan yang Saya tulis tentang hujan dan yang mengikuti Saya menggilai hujan.

Setelah lulus SMA, kami terpisah Jurusan sekaligus Propinsi. Saya memilih memperjuangkan hidup di Teknik Lingkungan, sementara dia sepertinya menikmati persiapan menjadi seorang guru Bahasa Jepang. Terakhir kali Saya bertemu dia mungkin adalah dua ata tiga tahun lalu, masih dengan beberapa kejadian yang tak berhenti kami tertawakan persis semasa sekolah dulu. Saya dan Dia masih dengan Kami yang sama, bedanya cuma di usia dan seragam putih abu-abu yang telah lama ditinggalkan.

Saya pikir hidup ini ajaib. Bagaimana dulu Saya pernah menulis mengenai banyak hal di hidup saya yang selalu berhubungan dengan hujan, dan Dia adalah pembaca setia saya. Sekarang, di tulisan Saya ini, dia tak lagi sebagai pembaca, tapi salah satu tokoh. Baiklah, Saya memahami bahwa waktu menyembunyikan dan memperlihatkan sesuatu pada tempatnya. Sekali lagi, Saya kagum pada ke-Maha-kerenan Allah, seakan menjadikan jilid-an ber-rim-rim  tugas perencanaan yang pernah Saya buat tak seujungkuku pun bernilai jika dibanding dengan perencanaan Allah. Ini menampar Saya untuk terus-terus bersyukur.

Untuk seorang sahabat yang sepertinya tengah memperjuangkan sesuatu di sana, sekarang Kamu telah hadir dalam cerita Saya bersama hujan. Saya menyadari betapa waktu ternyata menjadi sangat cepat mengantar kita menua. Terima kasih, telah hadir sebagai salah satu tokoh protagonis yang pernah mempercayai Saya sebagai sahabat, melengkapi masa putih-putih abu Saya, dan pernah mengingat Saya di waktu hujan. Semoga persahabatan kita seperti hujan yang tak pernah berhenti hadir meski terkadang matahari tak membolehkannya lalu datang sebagai pelangi yang indah.

Ps: Ini tulisan Saya yang terlupakan kapan dan dalam rangka apa Saya menulisnya. Mungkin yang Saya ingat, Saya menulisnya pasti ketika hujan. 🙂