Tags
Baik, coretan, pembelajaran, refleksi diri, renungan, syukur
Pada suatu waktu, pernah ada yang bertanya pada Saya, “Lu pernah kepikiran buat sekali aja berlaku brengsek atau kurang ajar sama orang gak sih?”
hmmm..
Pertanyaan ini berawal dari niat Kami untuk mencari makan siang di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Bandung. Kebetulan sebagai orang-orang yang suka lapar, Saya dan beberapa teman sering “niat banget” kalau untuk urusan perut. Kami sering ke mana-mana untuk mengisi bagian penting itu dengan makanan baru yang enak dan halal, insyaAllah. Seperti siang itu, setelah ada kelas dari pukul 7 pagi nonstop sampai pukul 1 siang, Kami memutuskan untuk makan rice bowl ala-ala salah satu franchise bergaya jepang. Posisi tempat makannya ada di salah satu pusat perbelanjaan yang berjarak beberapa kilo dari kampus.
Memasuki pusat perbelanjaan yang dituju, Kami diserbu oleh banyak sales di setiap toko yang Kami lewati agar membeli barang yang Mereka tawarkan. Terlalu banyak sales hingga ditingkat kesensitivitasan yang cukup tinggi setelah kuliah nonstop dan perut kosong, kejadian tersebut terasa mengganggu. Salah seorang teman Saya akhirnya nyeletuk, “Bilang gih sama mereka, ‘Lu bisa diem nggak!'”. Saya yang anaknya gak suka keributan dan sangat cinta damai ini *yaelah* cuma menanggapinya dengan senyum. Walaupun senyumnya lebih karena nahan perut yang dari tadi udah keroyokan. *hehe*
Kejadian yang sama juga Kami temui saat selesai makan dan mau keluar dari pusat perbelanjaan tersebut. Banyak sales yang mengejar, ibarat Kami idola yang sudah lama dinanti-nantikan kehadirannya, yang membuat Saya mikir-mikir lagi kalau mau ke sana sendirian. Kejadian itu akhirnya membawa Saya pada satu pembicaraan lebih berat dengan seorang teman. Di mana Dia mengaku, bahwa dalam situasi-situasi tertentu, salah satunya seperti kejadian yang Kami hadapi barusan, membuat Dia ingin sekali-sekali berlaku kurang ajar sama orang.
Hingga, sampailah dia menanyakan pada pertanyaan yang saya tulis di awal tadi.
“Lu pernah kepikiran buat sekali aja berlaku brengsek atau kurang ajar sama orang gak sih?”
Saya diam. Mikir. Semenit. Sepuluh menit. Sejam. Setahun. Selamanya…
Eh, enggak deng!
Saya diam beberapa detik, lalu datang dengan jawaban, “Kepikiran mungkin sih, tapi nggak ada niat buat kurang ajar ke orang lain”
“Kenapa?”
“Soalnya Gue gak mau juga ada orang yang berlaku kurang ajar ato brengsek sama Gue”
“Iya ya, Gue gak kepikiran ke sana loh. Tapi, tetep, sekali-kali gue pengen berlaku kurang ajar. Sama mbak-mbak kasir yang ngasih kembalian uang pake permen misalnya. Gue sering kepikiran buat jawab si mbaknya, ‘kalo belanjaan nya Saya bayar pake permen bisa nggak mbak?'”
“haah.. Tapi belum pernah dilakuin kan?”
“Ya belum lah.. Belum berani gue!”
Begitulah teman Saya yang sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan ajaib yang sukses bikin Saya mikir lebih dari biasanya. Malah membuat Saya berpikir ulang lagi jawaban yang Saya berikan.
Mengenai pembahasan tersebut, Saya adalah orang yang percaya bahwa perlakuan apa yang Kita dapatkan dari orang adalah bagian dari perlakuan apa yang Kita berikan pada orang lain yang ada di sekitar Kita. Hal tersebut jadi bagian refleksi diri Saya ketika mendapatkan perlakuan yang mungkin tidak Saya sukai dari orang lain. Saya sering bertanya-tanya apa Saya pernah melakukan hal yang sama pada orang lain? apakah Saya pernah menyakiti perasaan orang lain? Juga, Saya berpikir, jika Kita berlaku kurang ajar ke orang lain, bukan cuma orang itu yang akan terlukai perasaannya, tapi bisa jadi orang tuanya, anaknya, dan lain-lain, yang kalau kita posisikan sebagai orang terdekat Kita, tentu juga tak mengenakkan bagi Kita. Ini menjadi pengingat Saya untuk tetap berusaha menjadi orang baik.
Bicara kebaikan, Saya sering dikaburkan oleh standar yang dipakai sebagai penentu kebaikan. Sering mempertanyakan seberapa yang dikatakan “baik” itu? Benarkah yang Kita bilang baik itu benar-benar baik di mata Allah?
Lalu pertanyaan itu bermuara pada satu ayat yang mungkin merupakan jawaban pertanyaan yang mungkin tidak hanya Saya yang menanyakan.Di mana Allah mengatakan:
βBoleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.β (Al-Baqarah: 216)
Juga sebenarnya, ada banyak hal mengenai kebaikan yang di sampaikan Allah dalam Al Quran, artinya ada masih banyak jawaban-jawaban lain yang harus saya pelajari mengenai kebaikan dengan mempertanyakannya sekaligus menerapkannya perlahan demi perlahan untuk menjadi lebih baik.
Percakapan dengan teman Saya tadi juga secara tersirat mengajarkan Saya bahwa menjadi baik saja susah, apalagi menjadi kurang ajar. Buktinya teman Saya yang punya rencana untuk kurang ajar saja, hingga sekarang masih belum berani melakukannya. Mungkin saja ini merupakan penjagaan Allah agar dia terlindungi dalam kebaikan.
Saya selalu berdoa semoga Allah selalu menetapkan hati Saya dengan sesuatu yang baik dan menjadikan Saya sebagai manusia yang terus belajar memperbaiki diri.
Semoga Saya, teman Saya, dan Kita semua menjadi orang-orang yang terus belajar menjadi lebih baik dan terjaga dalam setiap kebaikan yang di ridhoi Allah.
Aamiin.
iuef said:
Kalau cuma lintasan pikiran, sedihnya, iya pernah, bahkan tak cuma sekali. Tapi tapi tapi, mungkin secara nggak sadar, saya juga pernah melakukannya bukan hanya di pikiran. Berkata sinis, nyindir, atau semacamnya π¦
LikeLiked by 1 person
Sophia Wardana said:
Gue pernah, tapi dalam pikiran doang sih… Waktu itu kebetulan menyaksikan sendiri bagaimana Ayah saya diperlakukan tidak ‘baik’ sama bosnya, dibentak-bentak lah pokoknya, padahal sepenglihatan gue, Ayah nggak ada melakukan hal yang menyimpang secara etika dalam pekerjaannya. Melihat kejadian itu, gue pengen nangis, baru pertama melihat Ayah dibentak seperti itu. And in my mind I was cursing at the whole level. Saling tunjuk dan gue menampar pipi, tendang, memaki si bos yang arogan. Yah walaupun cuma ada dalam pikiran sih…
Oftentimes, things don’t really turn out like you think. Karena luas pikiran itu jaaaaauh lebih besar dari luas perkataan. Apa yang bisa keluar dari mulut kita sebenernya itu udah di saring. Pikiran itu bisa ngelakuin apa aja dengan sendirinya like rampant monkeys, loncat dari satu pohon ke hal-hal yang macem2, until there’s a sets of mindset controlling it.
Tentang ‘baik’ dan nggaknya sesuatu, kalo kita bicara dari sudut pandang manusia, it never has a clear answer. Everything is relatif buat kita manusia karena at some points we have our own standard.
Kemudian kalo kita bicara dari sudut pandang Tuhan, ya semua perintah-Nya adalah baik, dan larangan-Nya adalah tidak baik. Tinggal manusia memilih yang mana, mengikuti standar Tuhan atau standarnya sendiri. Dan… yang paling penting bagi saya, tidak ada pilihan/jawaban yang salah salah dalam hidup. Karena sesuatu yang pada awalanya adalah pilihan/jawaban yang salah pada akhirnya akan mengajarkan dia ‘sesuatu’. Dan tentu saja semuanya berujung pada untuk kebaikan dia, what is fit for them. π
by the way… salam kenal ya.
LikeLiked by 1 person
Fitra Hayati said:
Waaah, komen nya mbak nambah pelajaran baru lagi buat Saya, terlebih pada pengalamannya. seperti banyak orang bilang, pengalaman adalah guru terbaik, dan Kita juga bisa belajar dari pengalaman orang lain.
Saya sangat setuju kalau luas pikiran itu jauh lebih besar dari luas perkataan dan menurut Saya keluasan pikiran itu yang membuat kita bertindak berdasarkan pada skenario terbaik yang dipilih berdasarkan standar yang ditetapkan pikiran Kita. Skenario itu yang kemudian membiarkan Kita belajar ‘sesuatu’. ‘sesuatu’ yang baik untuk kita tentunya.
Salam kenal juga ya, Mbak.. π
LikeLiked by 1 person
Sophia Wardana said:
Terima kasih, π kita ini semua sedang belajar dan berevolusi.
by the kamu dari bandung ya? Ramadhan tahun lalu aku pernah ke Bandung. Bandung itu ngangenin. Banyak spot – spot yang bangusss. β€οΈππ»
LikeLike
Fitra Hayati said:
Kebetulan sedang menetap di Bandung, Mbak.. π
Iya, Bandung bikin nyaman dan betah π
LikeLike